Jakarta – Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Sultan B Najamudin meminta Umat Islam Indonesia untuk menghargai Surat Edaran menteri Agama terkait pengaturan volume pengeras suara dan memaafkan pernyataan Mantan Ketua GP Ansor tersebut.
Hal tersebut disampaikan Sultan setelah melihat reaksi Publik khususnya Umat Islam yang terkesan berlebihan menyikapi aturan dan penjelasan Menag yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan gelombang unjuk rasa oleh beberapa kelompok umat Islam.
“Sebagai manusia biasa kita semua memiliki potensi untuk salah, baik dalam tindakan dan ucapan. Tidak baik kita berlebihan mengadili sikap Beliau dalam mengatur keberagaman bangsa yang kompleks ini”, ujar Sultan melalui keterangan resminya pada Selasa (01/03).
Menurutnya, Sebagai Publik figur yang selalu menjadi sorotan publik dan media, siapapun yang berada pada posisi Beliau berhak untuk dimaafkan atas kesalahan ucap dan sikapnya. Kecuali jika itu berdampak langsung pada stabilitas keamanan dan ketertiban sosial serta hubungan lintas keagamaan dalam masyarakat.
“Tindakan mencemooh kesalahan saudara kita adalah sikap yang tidak perlu dan sangat dilarang oleh Agama. Nabi tak pernah marah apalagi sampai mencemooh kaum Quraisy yang menyakiti dan menghina dirinya, berdakwalah dengan akhlaq yang baik”, jelas Sultan.
Di tengah kehidupan bangsa yang sedang tidak baik-baik saja ini, lanjutnya, Umat Islam Indonesia harus bisa menjadi Pioneer pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi keumatan secara masif. Mendorong Pemberdayaan ekonomi umat lebih utama daripada mencenderungi diri pada eskalasi politik secara tidak cerdas.
“Sudah cukup kita mencari cari kesalahan orang lain secara tidak adil dan menyebabkan energi bangsa ini terbuang sia-sia, sehingga kita lupa pada persoalan bangsa dan Umat yang sesungguhnya”, tegasnya.
Meski demikian Sultan mendorong agar Menteri Agama untuk melakukan komunikasi intensif dengan semua kelompok Islam untuk meminta masukan terkait Surat edaran tersebut. Komunikasikan secara langsung dan terbuka.
“Masalah sesungguhnya pada produk kebijakan publik kita selama ini adalah hanya pada sejauh mana pemerintah melibatkan masyarakat atau pihak terkait dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Sehingga kebijakan yang bertujuan baik, bisa diinterpretasikan secara liar jika tidak lebih dikombinasikan dengan pendekatan yang partisipatif”, tutup mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu. (rls)